Ada awal ketika cerita harus di akhiri, tapi ceritaku entah dari mana harus kuawali dan entah sampai dimana harus kuakhiri. Karena dalam setiap alurnya kutemukan romantisme kehidupan yang menyerupai waktu, tak jelas kapan dimulai dan tak tahu kapan akan berakhir. Ketika jejak-jejak waktu berlalu, kutemukan sebentuk masa lalu lewat kenangan yang sempat membuncah indah di hatiku dan sekarang menjadi rahasia hening di dadaku. Lewat keremangan senja yang berakhir menjadi malam, seperti itulah gambaran sederhana perasaanku saat ini, atau bahkan mungkin lebih parah, karena dalam malam masih ada rembulan yang menjadi penerang, semilir angin yang lembut, serta ombak laut yang damai. Tapi itu, tak kutemukan di langit-langit hatiku.
Saudaraku, suara tangisku telah melengking hingga kesetiap sudut jagat ini, menelusup diantara pepohonan rimba, berbaur dengan udara, dan menembus setiap dada yang pernah merintih karena luka. Bahkan dalam sebuah drama memilukan, sempat kutancapkan kebisingan lewat degup jangtungku yang kusut sembilu. Tak terdengar lagi gemerisik merdu air sungai, kicau burung di musim semi, serta hembusan angin lembut yang menyentuh pepohonan, karena telingaku telah pekak di hantam halilintar sebuah kabar mengenaskan. Tak terlihat lagi mekar bunga di pagi hari, pelangi di angkasa kala senja, serta wujudnya yang cantik jelita karena mata ini telah buta ditusuk tombak penderitaan yang membawaku larut dalam tangis yang memilukan.
Tak pernah kutemukan wujud nyata sebuah perasaan dalam bentuk yang sebenarnya, selalu ada sesuatu yang sempat berlalu atau terlewatkan ketika aku ingin mewujudkannya dalam sebuah kenyataan. Karena hingga matanya terpejam dan tampa pernah tebuka lagi, perasaan itu masih membalut kokoh dihatiku dan sebentar lagi akan terkubur bersama jasadnya serta kenangan indah bersamanya.
Sebatang pena mungil, secarik kertas putih, dan segelas susu diatas meja kamarku, kutuliskan cerita ini untukmu, tentang aku dan dia yang pernah menjadi bunga dihatiku.
Hanya ada cahaya rembulan malam itu, menelusup lewat kaca jendela dan menembus gorden yang tipis sehingga ruangan menjadi tampak remang, tapi masih bisa kurasakan bulir-bulir air yang mengalir dari kedua mataku, jatuh perlahan menyentuh lantai. Jika tidak hawatir akan membuatnya takut, ingin sekali aku berteriak melihat dia berbaring lemah diatas tempat tidur yang akan mengiringinya menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Begitu hening malam itu, hingga tetes air mata yang kubiarkan jatuh menyentuh lantai terdengar jelas di telinganya.
"kekasihku…. kenapa engkau menangis?”
Bibir yang selama ini membisikkan cinta padaku tampak bergetar menyebutkan sebaris kalimat tanya ini dengan mata yang masih terpejam bahkan tampa menoleh kepadaku, seolah ada yang memberitahukan padanya dari mana asal suara itu..
"Aku tidak menangis kekasihku…”
Aku mencoba menyembunyikan kepiluanku dengan mengusap air mataku dan berbicara dengan nada datar seolah tidak terjadi apa-apa. Namun ternyata dialah orang yang begitu memahamiku dengan sangat dalam sehingga tak ada setitik perasaanpun yang bisa kusembunyikan darinya kecuali ia akan menemukannya tampa harus mencari dengan bergerak dari tempatnya.
“ tahukah engkau kekasihku....aku bahagia sekali hari ini..
Ia menoleh padaku dan tersenyum sehingga wajahnya yang pucat tampak putih berseri. Berkelebat dikepalaku kenangan-kenangan indah bersamanya, berjalan di atas pasir putih di pantai yang indah, duduk di kursi tua taman kota, serta bergandengan tangan di bawah surya yang memerah saat senja tiba. Andai kata dunia ini adalah surga, dimana segala sesuatunya akan tersedia hanya dengan meminta, akan kuhabiskan waktuku bersamanya.
Tak dapat kubendung kesedihanku mendengar kata-katanya, benarkah ia telah melihat mahluk tuhan yang berwarna biru itu mendekat padanya sehingga wajhnya terlihat begitu berseri? Ataukah ia bahagia karena aku di sampingnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berdengung di kepalaku.
Sambil menunggu jawaban yang tak kunjung datang....
penulis : Rahmatsyah
0 komentar:
Post a Comment