KBK, efektif atau tidak?






Saya tau persis ketika membaca judul tulisan ini akan mangagetkan sebagian orang, namun saya yakin anda akan memahami maksut saya ketika membacanya lebih jauh. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sistem kerikulum pendidikan yang digunakan untuk mahasiswa kesehatan saat ini adalah sistem KBK (kurikulum berbasis kompetensi) dengan sistem paketan yang diberi nama blok atau modul. Kurikulum ini menuntut mahasiswanya untuk berperan lebih aktif dalam proses belajar mengajar, karena prinsipnya dari mahasiswa untuk mahasiswa. Tentu saja tidak ada yang salah dengan semua ini, namun sepertinya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita bersama karena kalau hal seperti ini diterapkan untuk mahasiswa terutama mahasiswa pemula atau semester awal, bukankah ini berarti mereka dipaksa memahami buku yang sama sekali belum dijelaskan sebelumnya sehingga mereka harus meraba-raba seperti anak yang diterjunkan kedalam hutan belantara. Dan taukah anda apa yang akan terjadi pada anak kecil apabila diterjunkan kedalam hutan belantara, jawabannya adalah mereka akan mati. Karena sebelumnya tidak ada orang yang mengajarkan mereka bagaimana caranya untuk bertahan hidup didalam rimba.

Memang sistem KBK tidak sama persis dengan analogi saya tentang anak kecil yang diterjunkan ke dalam hutan belantara, kerena didalam sistem KBK ada yang disebut dengan tutor yang akan mengawasi jalannya diskusi mereka. Namun demikian, kita tau bersama bagaimana batas kemampuan seorang remaja lulusan SMA untuk memahami buku-buku kedokteran yang notabenenya membutuhkan kecermatan khusus untuk memahaminya atau setidaknya hal tersebutnya pernah dijelaskan sebelumnya sehingga mereka tidak akan salah memaknai maksut dari penjelasan dalam buku tersebut.

Membangun sebuah kurikulum yang menuntut mahasiswa untuk aktif memang sangat baik, akan tetapi apabila dilakukan sepenuhnya dengan metode seperti yang dilakukan saat ini, belum tentu akan membawa dampak seperti yang diharapkan. Seharusnya ada sebuh mekanisme yang memberikan keseimbangan antara peran dosen yang memang merupakan pengajar, dan kemudian mahasiswa diaktifkan dalam bentuk penerapan. Sebagai contoh, didalam ruangan dosen akan memberikan kuliah atau penjelasan tentang suatu materi, lalu kemudian sebuah kasus yang berkaitan dengan materi tersebut (tentu saja sifatnya lebih universal dan kompleks) diberikan kepada mahasiswa untuk diselesaikan dalam sebuah diskusi. Sehingga dalam diskusi tersebut mahasiswa tidak akan malang melintang tanpa arah dan tersesat karena sebelumnya telah mendapat penjelasan yang memadai dari pakar materi tersebut, yaitu dosen yang bersangkutan.

Saya masih ingat ketika dulu salah seorang teman saya menjelaskan didepan ruangan tentang sistem and plate dalam fisiolagi tubuh manusia dan teman-teman saya yang lain mangangguk-angguk tanda setuju terhadap pejelasannya karena memang tidak tahu sama sekali tentang permasalahan tersebut. Sehingga mempercayakan saja sepenuhnya hal tersebut pada teman yang dipercayakan untuk mempresentasikan materi tersebut. Padahal apa yang dijelaskannya sama sekali tidak benar. Tentu saja ini bukan kesalahan dari teman saya tadi, karena memang sebelumnya dia tidak mendapatkan penjelasan tentang materi tersebut, sehingga dia hanya akan menjelaskannya sesuai dengan apa yang ia pahami. Inilah yang saya sebut seorang anak diterjunkan kedalam hutan belantara yang sama sekali tidak tau rimba dan membimbing anak-anak lain yang sama tidak tahunya. Lalu kemudian apa yang akan terjadi, silahkan bayangkan sendiri.

Kemudian persoalan lain yang harus menjadi perhatian adalah materi yang sampaikan oleh mahasiswa tidak akan memiliki kualifikasi yang sama dengan materi yang disampaikan oleh seorang dosen yang merupakan pakar dalam hal tersebut. Sehingga mahasiswa tidak akan menerima penjelasan yang memadai seperti yang seharusnya mereka dapatkan, karena walau bagaimanapun penjelasan dari soerang pakar akan sangat jauh berbeda dengan penjelasan seorang mahasiswa yang baru balajar, dan kalau seorang yang baru belajar diminta untuk mengajar materi yang baru saja mereka dalami benarkah metode seperti ini akan efektif? Lalu bagaimana dengan orang yang menerima penjelasan dari mahasiswa tersebut apakah telah mendapat penjelasan yang bermutu sekelas dosen?

Sebenarnya, ini bukan hanya tentang apakah mutu pendidikan akan mengalami perbaikan yang signifikan dari yang sebelumnya, dan bukan hanya tentang apakah mahasiswa menerima materi yang memadai atau tidak. Namun lebih dari itu, karena objek yang akan dihadapi oleh soerang dokter, perawat, bidan atau beberapa profesi medis lainnya adalah manusia. Saya pernah membaca sebuah ungkapan yang sangat menyentuh hari dari seorang dokter yang mengatakan kepada pasiennya, “ ketika anda (pasien) duduk dihadapan saya, saya membayangkan diri saya berada dalam posisi anda saat ini dan dokter seperti apa yang saya harapkan untuk menangani saya, dan saya berusaha menjadi dokter seperti itu ”. Saat seorang dokter berusaha menyembuhkan seorang pasien, sebenarnya dokter tersebut tidak hanya sedang berusaha menyembuhkan pasien yang ada dihadapannya saja, namun dia juga sedang berusaha menyembuhkan kecemasan dari seorang ibu yang melahirkan pasien tersebut, sorang ayah yang membesarkannya, seorang adik yang merindukan nasihat kakaknya, kakak yang mendabakan keceriaan adiknya kembali, dan sebuah keluarga besar yang menunggu kesembuhannya. Saya mulai menyadari saat ini, apabila ingin menggali lebih jauh makna dari pendidikan ini maka tujuan yang sebenarnya bukanlah gelar dokternya, namun bagaimana kita berusaha sebaik mungkin untuk menjadi jalan kesembuhan bagi orang lain dan berusaha membahagiakan sebanyak-banyak orang dengan menjaga kualiltas kesehatan mereka, baik fisik maupun mental. Bisakah anda membayangkan betapa mulia profesi yang akan anda jalani nanti.

Sejauh pengamatan saya, sistem yang berjalan dalam sebuah institusi atau bahkan negara sangat berpengaruh besar terhadap cara pandang, pola fikir, dan tujuan serta asumsi dari individu-individu yang menjalani sistem tersebut. Bobroknya sebuah sistem dapat membentuk sebuah generasi bobrok pula secara masal. Dan seballiknya, baiknya sebuah sitem dapat melahirkan generasi yang baik pula secara masal. Untuk itulah saya berusaha bicara tentang sitem.

Satu hal yang ingin saya tegaskan kembali disini adalah saya tidak mengatakan sistem KBK tidak efektif, namun metode yang digunakan dalam sistem tersebut sebaiknya ditinjau ulang kembali. Mungkin akan lebih baik apabila dikolaborasikan dengan metode konvensional yang sebelumnya pernah diterapkan, karena mau mengakui atau tidak dokter-dokter berkualitas pernah lahir dari rahim metode konvensional tersebut.

Saya tau persis ketika menuliskan tentang masalah ini, saya bisa saja menjadi musuh bagi sebagian orang. Terutama yang setuju sistem KBK dengan matode yang telah berjalan saat ini diterapkan, namun bukan itu persolannya sebenarnya karena hanya akan memicu perdebatan yang mungkin tidak akan kunjung usai. Ketika membaca sebuah buku yang saya pinjam dari teman, saya menemukan sebuah ide menarik yang disebut sebagai eksplorasi subyek, cara berfikir yang sangat baik menurut saya. Karena dari pada terus berkutat tentang anggapan bahwa pendapat kitalah yang paling benar justru akan lebih baik apabila kita mencari dan menggali (eksplorasi) hal terbaik yang bisa kita temukan dari permasalah yang sedang kita bicarakan. Sebuah rumusan yang sangat jenuis. Mudah-mudahan dikesempatan yang lain saya bisa menulis tentang hal ini. terimakasih.

rahmatsyah
2 februari 2011
Read Full...
 

jam

© Grunge Theme Copyright by Nuansa Cakrawala (soemat's notes) | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks